phone: +6281254509366
e-mail: rizki_apriady46@yahoo.co.id

Review Silver Linings Playbook (2012)




Pat: ” The only way to beat my crazy was by doing something even crazier. Thank you. I love you. I knew it from the moment I saw you. I’m sorry it took me so long to catch up.“
Setelah komedi perang Three Kings, hidup David O. Russell menjadi tidak pernah mudah lagi. Perlahan namun pasti ia seperti mulai menemui ajalnya bersama  film-filmnya yang tidak terlalu bagus. Lalu keajaiban datang 2010 lalu ketika The Fighter menyelamatkan kariernya, tidak hanya itu, drama biopik tinju tentang dua bersaudara Micky Ward dan Dicky Eklund itu sukses diganjar berbagai penghargaan bergengsi, termasuk nominasi Oscar untuk film terbaik hingga dua piala emas untuk dua pemeran pembantu terbaik (Christian Bale dan Melissa Leo) dan menjadikan dirinya kembali diperhitungkan sebagai salah satu sutradara elit Hollywood.

Jadi tidak usah terlalu heran jika kemudian Russell semakin percaya diri untuk kembali mempelebar sayapnya, membuat sesuatu yang sama, atau bahkan lebih baik kualitasnya dari The Fighter, seperti karya terbarunya ini misalnya, Silver Linings Playbook yang sempat berkibar di festival film Toronto tahun lalu dengan membawa pulang penghargaan “Audience Award”, bersanding dengan para pendahulunya yang pernah jaya macam Slumdog Millionaire dan The King’s Speech yang seperti kita ketahui sendiri nasibnya, keduanya mampu berbicara banyak  di ajang Oscar.

Isinya masih berputar di sekitar keluarga difungsional seperti yang pernah dihadirkannya dalam Flirting With The Disasater atau The Fighter, namun Sliver Linings Playbook terasa lebih santai, lebih intim, lebih cerdas, lebih kocak dan juga lebih indie ketimbang pendahulunya itu tanpa harus kehilangan bobotnya sebagai sebuah romcom satir yang berisi banyak jiwa-jiwa tersesat nan kompleks. Naskahnya diadaptasi sendiri oleh Russell dari novel milik Matthew Quick setelah sebelumnya almarhum Sideny Pollack yang membeli hak cipta novelnya dan memberikan kepada Russell jauh sebelum The Fighter ada.



Para pemilik jiwa tersesat itu adalah Pat Solitano (Bradley Cooper), mantan guru, penderita ganguan mood (bipolar disorder) yang baru saja dilepas dari sebuah panti rehabilitasi setelah delapan bulan lalu ia ‘meledak’ karena menemukan istrinya berselingkuh dengan guru sejarahnya. Lalu ada Tiffany Maxwell (Jennifer Lawrence), janda muda cantik pecandu seks yang rapuh paska kehilangan suami tercintanya dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Apa yang terjadi kemudian adalah bagaimana dua manusia ‘sakit’ ini saling menyembuhkan satu sama lain dengan cara-cara mereka yang terkadang ganjil.

Rahasianya adalah bagaimana Russell menyeimbangkan semuanya; Karakter-karakter menarik berjiwa rapuh yang gemar berteriak teriak satu sama lain, termasuk karakter pendukung ayah Pat, Patrizio penderita OCD akut yang diperankan Robert De Niro, tema pencarian cinta sejati, komedi dalam balutan dialog-dialog kuat, obesesi berlebihan terhadap American Football dan sedikit kompetisi dansya yang konyol. Ya, itu adalah bahan-bahan yang sebenarnya sulit untuk dijual, namun di sinilah kehebatan Russell yang juga punya pengalaman pribadi soal masalah bipolar dalam diri anak kandungnya.


Dan kamu tahu, ia melakukan pekerjaan luar biasa dalam usahanya untuk menghasikan sebuah drama tentang kejiwaan yang punya konflik tidak terlalu berat degan kombinasi komedi cerdas yang tidak pernah menjadi murahan serta sebuah romansa manis yang tidak terlalu cheesy (yah, mungkin sedikit di endingnya) plus dukungan cast-nya yang tampil luar biasa (Bradley Cooper dan Jennifer Lawrence punya chemistry dan kegilaan yang hebat, dan keduanya juga masuk nominasi Oscar tahun ini, bahkan Lawrence sendiri sudah menang terlebih dahulu dalam ajang Gloden Globe  sebagai aktris terbaik untuk kategori film komedi dan musikal) dengan beberapa momen berkesan di dalamnya di dalamnya.

Ya, Silver Linings Playbook, sebuah romcom adaptasi pahit manis yang punya banyak kekuatan besar di dalamnya; naskah dan penyutradaraan solid dari David O. Russell, bagaimana kepiwaiannya menggabungkan semua tema kegilaan, studi karakter, romansa dan komedinya menjadi sebuah sinergi kuat yang akan ‘menjebakmu’ dalam kurang lebih dua jam durasinya bersama penampilan para cast-nya yang ciamik. Mungkin akhirnya terasa terlalu manis dan klise, namun yang terpenting adalah bagaimana proses menuju akhirnya, dan itu sangat bagus!

Rating: ★★★★★★★★☆☆

0 comments: