Review The Perks of Being a Wallflower (2012)
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhcHIfjSJsHqseIkC4dnLRzbKrosCB4ooUO3e5TSBA8wpHv6cU1s5c9fXt-hKmHfGZYUr-VXv1WWbGXaSmDdbgTvHsvmVhilvO3lPsVajCcGO3B8Qen4qKhPqea-vFBq02N0AjZn6OfihI/s1600/aperk.png)
"Dear Friend, I’m sorry I haven’t written in awhile, but I’ve been trying hard to not be a loser.” - Charlie
Tidak ada yang lebih mengenal seorang
anak ketimbang ibunya sendiri, sama halnya novel, tidak ada yang bisa
lebih tahu persis dirinya ketimbang pengarangnya sendiri, jadi ketika
seorang penulis seperti Stephen Chbosky dipercaya oleh para petinggi Mr. Mudd Productions (para produser dari Juno)
untuk memegang kendali penuh, tidak hanya bertindak sebagai penulis
naskah seperti yang sudah sering dilakukan para koleganya sesama
novelist, namun juga duduk sebagai sutradara untuk versi live action dari novel teenlit coming of-age populer miliknya yang di publikasi 1999 lalu, sebuah kasus yang jarang terjadi. Maka inilah yang kamu dapatkan; The Perks of Being a Wallflower, romcom teenflick terbaik tahun ini. Jika kamu pernah merasakan indahnya masa
remaja maka bisa dipastikan akan menyukai ini; masa-masa menjadi adik
kelas di SMU, diganggu kakak kelasmu, punya guru favorit dan teman-teman
terbaik atau mungkin cinta dan ciuman pertamamu, ya, kamu akan
mendapatkan itu semua di sini dalam satu paketThe Perks of Being a Wallflower plus prom night, pesta rumah yang melibatkan brownies ganja
dan sedikit elemen homoseksualitas. Tetapi jika hanya menjual premis
remaja usang seperti itu jelas sudah biasa, yang menjadikannya istimewa
adalah karena Chbosky sukses mengangkut semangat novelnya dengan sangat
baik ke medium barunya, sesuatu yang biasanya susah dilakukan oleh
banyak sutradara.
Ya, maklum saja seperti yang sudah saya katakan di
atas, tidak ada yang lebih mengenal setiap lembar halaman novelnya
sebaik Chbosky sendiri, tidak ada yang lebih mengenal setiap karakternya
ketimbang Chbosky, jadi apa yang sudah dibuatnya di sini itu seperti
bagaimana kamu memperlakukan anak kandungmu dengan sebaik-baiknya,
termasuk bagaimana menghadirkan keseimbangan antara terang dan gelap,
antara kegembiraan masa remaja dan konflik kelam yang menjadi latar
belakang masing-masing pribadi karakter utamanya tanpa harus terlihat
berbodoh-bodoh ria dengan joke-joke kotor berlebihan atau sok ber-wise ria dengan segala petuah-petuahnya yang sok dewasa. Oke, Chbosky jelas sudag sukses
mentransfer spirit novelnya, tetapi tidak hanya itu, di bagian teknis
untuk ukuran sutradara pemula, ia rupanya juga mampu menghadirkan segala
keriangan, kesedihan dan momen-momen emosional dengan baik tanpa harus
terlihat menjadi melodrama berlebihan. Meskipun tidak tertera kapan
setting The Perks berlangsung namun dengan pemilihan lagu-lagu
keren yang ada (“Come On Eileen”-nya Dexys Midnight Runners,
“Asleep”-nya The Smiths – sampai versi asli “Heroes” yang dibawakan
David Bowie) kita tahu bahwa mereka berada di era 90’an dengan segala
keintiman persahabatan dan cinta yang masih belum tercemar dengan segala
pengaruh smartphone ataupun jejaring sosial.
Chbosky juga banyak terbantu dengan pemilihan cast yang
tersedia. Ada Logan Lerman yang di luar dugaan tampil bagus sebagai
Charlie yang introvert dan berusaha mencari jati dirnya dengan masa lalu
yang kelam dipundaknya, ya, sebuah transformasi yang terbilang luar
biasa dari aktor yang pernah menjadi putra Poseidon (Percy Jackson & the Olympians: The Lightning Thief) dan d’Artagnan dalam remake The Three Musketeers lalu
kini mencoba menjadi dirinya sendiri, maksud saya seorang remaja
tanggung dengan segala problematika hidupnya, namun tentu saja saya
yakin Lerman masih beruntung tidak memiliki masa lalu seburuk Charlie
yang nantinya akan dijawab dalam sebuah klimaks emosional. Lalu ada Emma
Watson, ah, senang rasanya bisa melihat ia terbebas dari seragam
Hogwarts dan segala hal-hal berbau sihir yang selama ini melekat
kepadanya. Penampilannya sebagai Sam mungkin tidak terlalu istimewa,
bahkan ia pun terlihat bersusah payah untuk menyembunyikan aksen
Inggris, namun sekali lagi pesona Watson tetap memberikan nilai lebih
pada The Perks. Dan last but not least, Ezra Miller,
salah satu aktor remaja favorit saya ini memang belum pernah
mengecewakan, termasuk juga kali ini ketika ia memberikan nyawa buat
peran Patrick, sahabat Charlie yang meyenangkan dan juga sama rapuhnya.
Mungkin ini salah satu teenflick terbaik setelah St. Elmo’s Fire. Sebuah coming-of age dengan
segala bumbu persahabatan, cinta dan segala suka duka masa remaja yang
terbungkus dalam presentasi yang apik dan manis dari Stephen Chbosky;
sang empunya cerita. The Perks of Being a Wallflower tidak hanya memberikanmu kesenangan sebuah romcom remaja,
namun di sisi lain ia juga mampu menyentuh nurani ketika dihadapkan
dengan konflik kelam pribadi karakter-karakter utamanya yang sukses
dibawakan oleh para cast-nya dengan gemilang.
Rating:
0 comments: