phone: +6281254509366
e-mail: rizki_apriady46@yahoo.co.id

Review The Perks of Being a Wallflower (2012)

 
 "Dear Friend, I’m sorry I haven’t written in awhile, but I’ve been trying hard to not be a loser.” - Charlie

Tidak ada yang lebih mengenal seorang anak ketimbang ibunya sendiri, sama halnya novel, tidak ada yang bisa lebih tahu persis dirinya ketimbang pengarangnya sendiri, jadi ketika seorang penulis seperti Stephen Chbosky dipercaya oleh para petinggi Mr. Mudd Productions (para produser dari Juno) untuk memegang kendali penuh, tidak hanya bertindak sebagai penulis naskah seperti yang sudah sering dilakukan para koleganya sesama novelist, namun juga duduk sebagai sutradara untuk versi live action dari novel teenlit coming of-age populer miliknya yang di publikasi 1999 lalu, sebuah kasus yang jarang terjadi. Maka inilah yang kamu dapatkan; The Perks of Being a Wallflower, romcom teenflick terbaik tahun ini. Jika kamu pernah merasakan indahnya masa remaja maka bisa dipastikan akan menyukai ini; masa-masa menjadi adik kelas di SMU, diganggu kakak kelasmu, punya guru favorit dan teman-teman terbaik atau mungkin cinta dan ciuman pertamamu, ya, kamu akan mendapatkan itu semua di sini dalam satu paketThe Perks of Being a Wallflower plus prom night, pesta rumah yang melibatkan brownies ganja dan sedikit elemen homoseksualitas. Tetapi jika hanya menjual premis remaja usang seperti itu jelas sudah biasa, yang menjadikannya istimewa adalah karena Chbosky sukses mengangkut semangat novelnya dengan sangat baik ke medium barunya, sesuatu yang biasanya susah dilakukan oleh banyak sutradara.

Ya, maklum saja seperti yang sudah saya katakan di atas, tidak ada yang lebih mengenal setiap lembar halaman novelnya sebaik Chbosky sendiri, tidak ada yang lebih mengenal setiap karakternya ketimbang Chbosky,  jadi apa yang sudah dibuatnya di sini itu seperti bagaimana kamu memperlakukan anak kandungmu dengan sebaik-baiknya, termasuk bagaimana menghadirkan keseimbangan antara terang dan gelap, antara kegembiraan masa remaja dan konflik kelam yang menjadi latar belakang masing-masing  pribadi karakter utamanya tanpa harus terlihat berbodoh-bodoh ria dengan joke-joke kotor berlebihan atau sok ber-wise ria dengan segala petuah-petuahnya yang sok dewasa. Oke, Chbosky jelas sudag sukses mentransfer spirit novelnya, tetapi tidak hanya itu, di bagian teknis untuk ukuran sutradara pemula, ia rupanya juga mampu menghadirkan segala keriangan, kesedihan dan momen-momen emosional dengan baik tanpa harus terlihat menjadi melodrama berlebihan. Meskipun tidak tertera kapan setting The Perks berlangsung namun dengan pemilihan lagu-lagu keren yang ada (“Come On Eileen”-nya Dexys Midnight Runners, “Asleep”-nya  The Smiths – sampai versi asli “Heroes” yang dibawakan David Bowie) kita tahu bahwa mereka berada di era 90’an dengan segala keintiman persahabatan dan cinta yang masih belum tercemar dengan segala pengaruh smartphone ataupun jejaring sosial.

Chbosky juga banyak terbantu dengan pemilihan cast yang tersedia. Ada Logan Lerman yang di luar dugaan tampil bagus sebagai Charlie yang introvert dan berusaha mencari jati dirnya dengan masa lalu yang kelam dipundaknya, ya, sebuah transformasi yang terbilang luar biasa dari aktor yang pernah menjadi putra Poseidon (Percy Jackson & the Olympians: The Lightning Thief) dan d’Artagnan dalam remake The Three Musketeers lalu kini mencoba menjadi dirinya sendiri, maksud saya seorang remaja tanggung dengan segala problematika hidupnya, namun tentu saja saya yakin Lerman masih beruntung tidak memiliki masa lalu seburuk Charlie yang nantinya akan dijawab dalam sebuah klimaks emosional. Lalu ada Emma Watson, ah, senang rasanya bisa melihat ia terbebas dari seragam Hogwarts dan segala hal-hal berbau sihir yang selama ini melekat kepadanya. Penampilannya sebagai Sam mungkin tidak terlalu istimewa, bahkan ia pun terlihat bersusah payah untuk menyembunyikan aksen Inggris,  namun sekali lagi pesona Watson tetap memberikan nilai lebih pada The Perks. Dan last but not least, Ezra Miller, salah satu aktor remaja favorit saya ini memang belum pernah mengecewakan, termasuk juga kali ini ketika ia memberikan nyawa buat peran Patrick, sahabat Charlie yang meyenangkan dan juga sama rapuhnya.

Mungkin ini salah satu teenflick terbaik setelah St. Elmo’s Fire. Sebuah coming-of age dengan segala bumbu persahabatan, cinta dan segala suka duka masa remaja yang terbungkus dalam presentasi yang apik dan manis dari Stephen Chbosky; sang empunya cerita. The Perks of Being a Wallflower  tidak hanya memberikanmu kesenangan sebuah romcom remaja, namun di sisi lain ia juga mampu menyentuh nurani ketika dihadapkan dengan konflik kelam pribadi karakter-karakter utamanya yang sukses dibawakan oleh para cast-nya dengan gemilang.


Rating
 

0 comments: